Dosen Kriminologi FISIP Universitas Budi Luhur bersama dengan Kriminolog UI dan UII Bahas Gaya dan Alibi “Ngeles” Koruptor ke Buruh

Berbicara tentang korupsi maka tidak akan pernah ada habisnya. Kejahatan kerah putih ini juga juga sudah mendarah daging di Indonesia. Bertahun-tahun Indonesia berupaya meminimalisir kejahatan korupsi ini di tengah-tengah masyarakat. Namun, lagi-lagi korupsi ini masih terus terjadi. Tentu saja karena korupsi memang dilakukan oleh orang-orang yang profesional. Bahkan kejahatan korupsi juga memberi dampak besar bagi buruh. Hal ini dilihat dari keluarnya UU Omnibus Law beberapa waktu lalu yang sempat ramai diprotes.

Dalam konteks pembuatan UU Omnibus Law, terdapat aktor-aktor yang sangat berpengaruh dalam intervensi hukum. “Orang kuat bisa membuat kebijakan. Dalam konteks pembuatan Omnibus Law ada aktor-aktor tertentu tidak kelihatan dan berpengaruh dan menghasilkan UU cipta kerja yang merugikan dan punya kepentingan. Politisi memiliki akses yang sangat dekat dengan sumber ekonomi dan korporasi,” ungkap kriminolog dari Universitas Budi Luhur, Dr. Supriyono B. Sumbogo dalam paparannya di acara Asosiasi Prodi Kriminologi Indonesia (APSiKI) Diskusi Publik secara daring bertema Dampak Korupsi terhadap Kesejahteraan Buruh, Jakarta, Sabtu 1 Mei 2021. Menurut Supriyono, pihak-pihak yang dekat dengan akses ekonomi adalah calon kepala daerah dalam hal ini politisi. Politisi inilah yang menjadi salah satu faktor goals nya UU Omnibus Law diketuk palu. Dari beberapa pasal yang ada di UU Omnibus Law tersebut dalam dilihat hal-hal yang merugikan para buruh. Salah satunya adalah ditiadakannya UMR (Upah Minimun Regional).

“Pengusaha atau korporasi sangat berkepentingan dengan UU ini. Dengan berbagai alasan termasuk alasan pandemi. Alasan itu mengambil keuntungan lebih besar dalam konteks korporasi internal di Indonesia,” imbuhnya.

Sementara itu, Kriminolog Universitas Indonesia, Dr. Ni Made Martini Putri mengatakan korupsi adalah perilaku prososial. Kejahatan korupsi memang merugikan masyarakat, namun bagi kelompok pelaku, korupsi justru merupakan kegiatan prososial yang menguntungkan kelompok tersebut. Bahkan sekarang, korupsi yang dilakukan oleh kelompok profesional berusia muda sekitar 20-30 tahun.“Perilaku pelanggaran hukum sulit diketahui. Siapa pelaku adalah sulit karena kelompok profesional,” katanya.

Berbagai alasan koruptor dalam membela diri bahwa tindakannya merupakan bagian dari kepentingan banyak orang sehingga pelanggaran boleh dilakukan. Selain itu, rasionalisasi yang diberikan pelaku sebagai alasan pelanggaran karena nilai-nilai pelanggaran tidak lebih besar daripada nilai kebaikan yang dilakukan mereka. Korupsi di Indonesia, lanjut Ni Made, bukan dilakukan oleh lower class tapi dilakukan dari kalangan terhormat atau pejabat publik. Dimensi kekuasaan sangat begitu kental terjadi dalam kejahatan korupsi dan dilakukan oleh kelompok bukan individu. “Kejahatan ini berada di ruang abu-abu maka sulit juga membuktikan korbannya. Bukan nggak ada korban. Tapi saat ketahuan korupsi sudah ditangkap. Korban sering kali tidak sadar dirinya korban,” ujarnya.

Kriminologi dari Universitas Islam Riau, Dr. Kasmanto Rinaldi menjelaskan ada konsep Patron dan klien yang dapat dilihat dari kejahatan korupsi. Hal ini banyak juga ditemukan di wilayah Asia Tenggara. “Bicara soal buruh adalah orang yang digaji, diupah, diperintah dan ditentukan dalam waktu tertentu sesuai dengan undang-undang. Kita bisa melihat diri kita sekarang buruh itu secara luas. Cenderung buruh itu ada kuli,” ungkap Kasmanto.

Salam APSiKi.

Koordinator Sekretariat APSiKi Chazizah Gusnita, M.Krim (0812 8320 5560)

Untuk penjelasan lebih lanjut terkait rilis, bisa menghubungi pembicara dengan nomor kontak di bawah ini:

Dr. Ni Made Martini Putri (0815 8824 17)

Dr. Kasmanto Rinaldi (0813 1878 881)

Dr. Supriyono B. Sumbogo (0821 1309 6420)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.